Masjid Al-Aqsa
Masjid Al-Aqsa, juga ditulis Al-Aqsha (bahasa Arab:المسجد الاقصى,
Al-Masjid Al-Aqsha (bantuan·info), arti harfiah: "masjid terjauh") adalah salah satu tempat suci agama Islam yang menjadi bagian dari kompleks bangunan suci di Kota Lama Yerusalem (Yerusalem Timur). Kompleks tempat masjid ini (di dalamnya juga termasuk Kubah Batu) dikenal oleh umat Islam dengan sebutan Al-Haram Asy-Syarif atau "tanah suci yang mulia". Tempat ini oleh umat Yahudi dan Kristen dikenal pula dengan sebutan Bait Suci (bahasa Ibrani: הַר הַבַּיִת, Har haBáyit, bahasa Inggris: Temple Mount), suatu tempat paling suci dalam agama Yahudi yang umumnya dipercaya merupakan tempat Bait Pertama dan Bait Kedua dahulu pernah berdiri.[2][3]
Masjid Al-Aqsa secara luas dianggap sebagai tempat suci ketiga oleh umat Islam. Muslim percaya bahwa Muhammad diangkat ke Sidratul Muntaha dari tempat ini setelah sebelumnya dibawa dari Masjid Al-Haram di Mekkah ke Al-Aqsa dalam peristiwa Isra' Mi'raj.[4] Kitab-kitab hadist menjelaskan bahwa Muhammad mengajarkan umat Islam berkiblat ke arah Masjid Al-Aqsa (Baitul Maqdis) hingga 17 bulan setelah hijrah ke Madinah. Setelah itu kiblat salat adalah Ka'bah di dalam Masjidil Haram, Mekkah, hingga sekarang.[5] Pengertian Masjid Al-Aqsa pada peristiwa Isra' Mi'raj dalam Al-Qur'an (Surah Al-Isra' ayat 1) meliputi seluruh kawasan Al-Haram Asy-Syarif.[6]
Masjid Al-Aqsa pada awalnya adalah rumah ibadah kecil yang didirikan oleh Umar bin Khattab, salah seorang Khulafaur Rasyidin, tetapi telah diperbaiki dan dibangun kembali oleh khalifah Umayyah Abdul Malik dan diselesaikan oleh putranya Al-Walid pada tahun 705 Masehi.[7] Setelah gempa bumi tahun 746, masjid ini hancur seluruhnya dan dibangun kembali oleh khalifah Abbasiyah Al-Mansur pada tahun 754, dan dikembangkan lagi oleh penggantinya Al-Mahdi pada tahun 780. Gempa berikutnya menghancurkan sebahagian besar Al-Aqsa pada tahun 1033, namun dua tahun kemudian khalifah Fatimiyyah Ali Azh-Zhahir
membangun kembali masjid ini yang masih tetap berdiri hingga kini.
Dalam berbagai renovasi berkala yang dilakukan, berbagai dinasti kekhalifahan Islam telah melakukan penambahan terhadap masjid dan kawasan sekitarnya, antara lain pada bagian kubah, fasad, mimbar, menara, dan interior bangunan. Ketika Tentara Salib menaklukkan Yerusalem
pada tahun 1099, mereka menggunakan masjid ini sebagai istana dan
gereja, namun fungsi masjid dikembalikan seperti semula setelah Shalahuddin
merebut kembali kota itu. Renovasi, perbaikan, dan penambahan lebih
lanjut dilakukan pada abad-abad kemudian oleh para penguasa Ayyubiyah, Mamluk, Utsmaniyah, Majelis Tinggi Islam, dan Yordania. Saat ini, Kota Lama Yerusalem berada di bawah pengawasan Israel, tetapi masjid ini tetap berada di bawah perwalian lembaga wakaf Islam pimpinan orang Palestina.
Pembakaran Masjid Al-Aqsa pada tanggal 21 Agustus 1969 telah mendorong berdirinya Organisasi Konferensi Islam yang saat ini beranggotakan 57 negara. Pembakaran tersebut juga menyebabkan mimbar kuno Shalahuddin Al-Ayyubi terbakar habis. Dinasti Bani Hasyim penguasa Kerajaan Yordania telah menggantinya dengan mimbar baru yang dikerjakan di Yordania[8], meskipun ada pula yang menyatakan bahwa mimbar buatan Jepara digunakan di masjid ini.[9][10]
Etimologi
Nama Masjid al-Aqsa bila diterjemahkan dari bahasa Arab ke dalam
bahasa Indonesia, maka ia berarti "masjid terjauh". Nama ini berasal
dari keterangan dalam Al-Qur'an pada Surah Al-Isra' ayat 1 mengenai Isra Mi'raj. Isra Mi'raj adalah perjalanan yang dilakukan Muhammad dari Masjid Al-Haram menuju Masjid Al-Aqsa, dan kemudian naik ke surga.[1][11] Dalam kitab Shahih Bukhari dijelaskan bahwa Muhammad dalam perjalanan tersebut mengendarai Al-Buraq.[12] Istilah "terjauh" dalam hal ini digunakan dalam konteks yang berarti "terjauh dari Mekkah".[13]
Selama berabad-abad yang dimaksud dengan Masjid Al-Aqsa sesungguhnya
tidak hanya masjid saja, melainkan juga area di sekitar bangunan itu
yang dianggap sebagai suatu tempat yang suci. Perubahan penyebutan
kemudian terjadi pada masa pemerintahan kesultanan Utsmaniyah (kira-kira abad ke-16 sampai awal 1918), dimana area kompleks di sekitar masjid disebut sebagai Al-Haram Asy-Syarif, sedangkan bangunan masjid yang didirikan oleh Umar bin Khattab disebut sebagai Jami' Al-Aqsa atau Masjid Al-Aqsa.[6]
Pra konstruksi
Area masjid ini dahulu adalah bagian perluasan pembangunan bukit oleh Raja Herodes Agung,
yang dimulai pada tahun 20 SM. Herodes memerintahkan tukang batu untuk
memotong permukaan batu di sisi timur dan selatan bukit, dan
melapisinya. Sisa-sisa pembangunan tersebut saat ini masih dapat
ditemukan di beberapa lokasi.[14] Ketika Bait Kedua masih berdiri, situs tempat masjid saat ini berdiri disebut dengan nama Serambi Salomo, dan pada tiap sisinya terdapat gudang kuil yang dinamakan chanuyot,
yang memanjang sampai ke sisi selatan bukit. Konstruksi tiang-tiang
kolom besar persegi di bagian utara masjid serta tembok-temboknya,
baru-baru ini ditetapkan memiliki usia jauh lebih tua daripada yang
diperkirakan sebelumnya oleh peneliti-peneliti terdahulu (berdasarkan
tulisan para saksi mata dari masa itu), yaitu bahwa konstruksi tersebut
berasal dari masa kekuasaan Romawi. Tembok-tembok tersebut dibangun
kembali atau diperkuat tidak lama setelah penghancuran Yerusalem pada
tahun 70 Masehi. Struktur bawah tanah bangunan ini berasal dari masa
kembalinya orang Yahudi dari pembuangan Babilonia
mereka, yaitu 2.300 tahun yang lalu. Situasi politik telah menyebabkan
penggalian lebih lanjut di area tersebut tidak memungkinkan. Pada saat
gempa bumi tahun 1930-an merusak masjid ini, penanggalan atas beberapa
bagian yang terbuat dari kayu sempat dilakukan, yang menunjukkan kurun
900 SM. Kayu-kayu tersebut adalah cypress (sejenis cemara) dan akasia. Jenis yang disebut terakhir menurut Alkitab digunakan oleh Raja Salomo dalam konstruksi bangunan-bangunannya di bukit tersebut pada sekitar 900 SM.[15] Bersama dengan Bait Suci, chanuyot yang ada ikut hancur oleh serangan Kaisar Romawi Titus (saat itu masih jenderal) pada tahun 70. Kaisar Yustinianus membangun sebuah gereja Kristen di situs ini pada tahun 530-an, yang dipersembahkan bagi Perawan Maria dan dinamakan "Gereja Bunda Kita". Gereja ini belakangan dihancurkan oleh Kaisar Sassania Khosrau II pada awal abad ke-7, hingga tersisa sebagai reruntuhan.[16]
Konstruksi Umayyah
Tidak diketahui secara tepat kapan Masjid Al-Aqsa pertama kali
dibangun dan siapa yang memerintahkan pembangunannya, namun dapat
dipastikan bahwa pembangunannya dilakukan pada masa awal pemerintahan
Umayyah di Palestina. Berdasarkan kesaksian Arculf, seorang biarawan Galia yang berziarah ke Palestina pada 679-82, sejarawan arsitektur Sir Archibal Creswell berpendapat bahwa Umar bin Khattab mungkin adalah orang yang pertama kali mendirikan bangunan persegi empat primitif berkapasitas 3.000 jamaah di suatu tempat di Al-Haram Asy-Syarif (Bukit Bait Suci). Bagaimanapun juga, Arculf mengunjungi Palestina pada masa pemerintahan Muawiyah bin Abu Sufyan.
Dengan demikian, adalah mungkin bahwa Muawiyah lah yang memerintahkan
pembangunan dan bukan Umar. Pendapat terakhir ini didukung oleh tulisan
dari ulama Yerusalem awal Al-Mutahhar bin Tahir Al-Maqdisi.[17]
Analisis atas panel dan balok kayu yang diambil dari bangunan ini
selama renovasi pada tahun 1930-an menunjukkan bahwa kayu-kayu tersebut
adalah cedar Libanon dan cypress. Penanggalan radiokarbon
menunjukkan berbagai macam usia, beberapa bahkan setua abad ke-9 SM,
yang menunjukkan bahwa beberapa dari kayu tersebut sebelumnya telah
digunakan pada bangunan-bangunan yang lebih tua.[18]
Menurut beberapa ulama Islam, antara lain Mujiruddin Al-Ulaimi, Jalaluddin As-Suyuthi, dan Syamsuddin Al-Maqdisi, masjid ini dibangun kembali dan diperluas oleh Khalifah Abdul Malik bin Marwan pada 690 bersama dengan Kubah Batu.[17][19]
Guy le Strange mengklaim bahwa Abdul Malik menggunakan bahan-bahan dari
Gereja Bunda Kita yang hancur untuk membangun masjid dan menunjukkan
bukti bahwa kemungkinan substruktur di sudut tenggara masjid adalah
sisa-sisa gereja tersebut.[19] Dalam merencanakan proyek megahnya di Bukit Bait Suci, yang pada akhirnya akan mengubah keseluruhan kompleks itu menjadi Al-Haram Asy-Syarif
("tanah suci yang mulia"), Abdul Malik ingin mengubah bangunan primitif
sebagaimana digambarkan oleh Arculf menjadi struktur yang lebih
terlindung yang melingkupi kiblat, suatu faktor penting dalam skema lengkap rancangannya. Namun demikian, seluruh Al-Haram Asy-Syarif
itu dimaksudkan untuk melambangkan masjid. Seberapa banyak perubahan
yang ia lakukan pada aspek bangunan sebelumnya tidak diketahui, tetapi
panjang bangunan baru ditunjukkan dengan adanya bekas jembatan yang
mengarah ke istana Umayyah, yang terletak di sebelah selatan dari bagian
barat kompleks. Jembatan kemungkinan dahulunya membentang dari jalan di
luar tembok selatan Al-Haram Asy-Syarif, sebagai akses langsung
menuju masjid. Adanya akses langsung dari istana ke masjid adalah sebuah
ciri khas yang terkenal pada masa Umayyah, sebagaimana terdapat pada
situs-situs awal lainnya. Abdul Malik menggeser poros tengah masjid
sekitar 40 meter ke arah barat, sesuai dengan rencana lengkapnya atas Al-Haram Asy-Syarif.
Poros bangunan sebelumnya yang berbentuk sebuah ceruk, saat ini masih
dikenal dengan sebutan "Mihrab Umar". Karena memperhatikan benar posisi Kubah Batu, Abdul Malik meminta arsiteknya menyejajarkan Masjid Al-Aqsa yang baru dengan posisi batu Ash-Shakhrah, sehingga sumbu utama utara-selatan Bukit Bait Suci yang sebelumnya, yaitu garis yang melalui Kubah Silsilah dan Mihrab Umar, menjadi bergeser.[20]
Creswell, yang merujuk pada Papyri Aphrodito, sebaliknya mengklaim bahwa Al-Walid bin Abdul Malik adalah yang membangun kembali Masjid Al-Aqsa selama periode enam bulan sampai satu tahun, dengan para pekerja dari Damaskus.
Kebanyakan peneliti berpendapat bahwa rekonstruksi masjid dimulai oleh
Abdul Malik, namun Al-Walid lah yang mengawasinya hingga selesai. Dalam
tahun 713-714, serangkaian gempa bumi telah merusak Yerusalem dan
menghancurkan bagian timur masjid, yang akhirnya dibangun kembali pada
masa pemerintahan Al-Walid tersebut. Untuk membiayai rekonstruksi ini,
Al-Walid memerintahkan emas dari Kubah Ash-Shakhrah dicetak sebagai
sebagai uang logam untuk membeli bahan-bahan bangunan.[17] Masjid Al-Aqsa yang dibangun Umayyah kemungkinan besar berukuran 112 x 39 meter.[20]
Gempa bumi dan pembangunan kembali
Fasad dan serambi masjid ini dibangun dan diperluas oleh para penguasa Fatimiyah, Tentara Salib, Mamluk dan Ayyubiyah.
Pada tahun 746, Masjid Al-Aqsa rusak akibat gempa bumi, yaitu empat tahun sebelum Abul Abbas As-Saffah menggulingkan Ummayah dan mendirikan kekhalifahan Abbasiyah. Khalifah Abbasiyah yang kedua Abu Jafar Al-Mansur
pada tahun 753 menyatakan niatnya untuk memperbaiki masjid itu. Ia
memerintahkan agar lempengan emas dan perak yang menutupi gerbang masjid
dilepaskan dan dicetak menjadi uang dinar dan dirham
untuk membiayai kegiatan rekonstruksi, yang diselesaikan pada tahun
771. Gempa kedua yang terjadi pada tahun 774 kemudian merusak sebagian
besar perbaikan Al-Mansur itu, kecuali perbaikan pada bagian selatan
masjid.[19][21] Pada tahun 780, khalifah selanjutnya Muhammad Al-Mahdi membangunnya kembali, tapi ia mengurangi panjangnya serta memperbesar lebarnya.[19][22] Renovasi Al-Mahdi adalah renovasi pertama yang diketahui memiliki catatan tertulis yang menjelaskan hal itu.[23] Pada tahun 985, seorang ahli geografi Arab kelahiran Yerusalem bernama Al-Maqdisi mencatat bahwa masjid hasil renovasi memiliki "lima belas lengkungan dan lima belas gerbang".[21]
Pada tahun 1033 terjadi lagi sebuah gempa bumi, yang sangat merusak masjid. Antara tahun 1034 dan 1036, khalifah Fatimiyah Ali Azh-Zhahir
membangun kembali dan merenovasi masjid secara menyeluruh. Jumlah
lengkungan secara drastis dikurangi dari lima belas menjadi tujuh.
Azh-Zhahir membangun empat buah arkade untuk aula tengah dan lorong,
yang saat ini berfungsi sebagai fondasi masjid. Aula tengah diperbesar
dua kali lipat dari lebar lorong lainnya, dan memiliki ujung atap besar
yang di atasnya dibangun sebuah kubah dari kayu.[17]
Daerah Al-Haram (daerah yang suci) terdapat di sebelah timur dari kota ini; dan melalui bazar di (bagian kota) ini anda akan memasukkan Daerah tersebut melalui pintu gerbang (Dargah) yang besar dan indah... Setelah melewati gerbang ini, di sebelah kanan anda terdapat dua baris tiang-tiang besar (Riwaq), masing-masing memiliki sembilan dan dua puluh pilar-pilar marmer, yang bagian puncak dan dasarnya berupa pualam berwarna, dan persambungannya terbuat dari timah. Di atas pilar-pilar terdapat lengkungan-lengkungan, yang terbuat dari batu bata, tanpa pelapis plester atau semen, dan setiap lengkungan dibangun dengan tidak lebih dari lima atau enam blok batu. Pilar-pilar ini mengarah sampai ke dekat Maqsurah. |
Nasir Khusraw', deskripsi masjid pada tahun 1047 Masehi (Safarnama, terjemahan Guy Le Strange)[24] |
Yerusalem direbut oleh Tentara Salib pada tahun 1099, selama Perang Salib Pertama. Alih-alih menghancurkan masjid, yang mereka sebut "Bait Salomo",
Tentara Salib menggunakannya sebagai istana kerajaan dan kandang kuda.
Pada tahun 1119, tempat ini berubah menjadi markas para Ksatria Templar. Selama periode ini, mesjid mengalami beberapa perubahan struktural, termasuk perluasan serambi utara, penambahan apse,
dan sebuah dinding pembatas. Sebuah kloster baru dan sebuah gereja juga
dibangun di situs tersebut, bersama dengan beberapa struktur bangunan
lainnya.[25]
Para Ksatria Templar membangun pavilyun berkubah di sisi barat dan
timur bangunan. Pavilyun barat saat ini berfungsi sebagai masjid untuk
kaum wanita dan pavilyun timur berfungsi sebagai Museum Islam.[21]
Setelah Shalahuddin Al-Ayyubi
berhasil memimpin Ayyubiyah merebut kembali Yerusalem melalui
pengepungan pada tahun 1187, beberapa perbaikan dilakukan atas Masjid
Al-Aqsa.[8] Nuruddin Zengi yang menjadi sultan sebelum Shalahuddin, sebelumnya telah menugaskan pembangunan mimbar baru yang terbuat dari gading
dan kayu pada tahun 1168-1169, namun mimbar itu baru selesai setelah ia
wafat. Mimbar Nuruddin telah ditambahkan oleh Shalahuddin ke masjid
pada bulan November 1187.[26]
Penguasa Ayyubiyah di Damaskus, Sultan Al-Muazzam, pada tahun 1218
membangun serambi utara masjid dengan tiga buah gerbang. Pada tahun
1345, penguasa Mamluk di bawah pemerintahan Al-Kamil Shaban menambahkan dua lengkungan dan dua gerbang pada bagian timur masjid.[21]
Setelah Utsmaniyah
merebut kekuasaan pada 1517, mereka tidak melakukan renovasi atau
perbaikan besar atas masjid itu, namun mereka melakukan perbaikan pada Al-Haram Asy-Syarif (Bukit Bait Suci) secara keseluruhan. Hal ini termasuk antara lain pembangunan Air Mancur Qasim Pasha (1527), perbaikan kembali Kolam Raranj, serta pembangunan tiga kubah yang berdiri bebas. Kubah yang paling terkenal ialah Kubah Nabi,
dibangun pada tahun 1538. Semua pembangunan adalah atas perintah para
gubernur Utsmaniyah di Yerusalem dan bukan atas perintah para sultan.[27] Walaupun demikian, para sultan melakukan penambahan pada menara-menara yang telah ada.[27]
Masa modern
Renovasi pertama pada abad ke-20 dilakukan pada tahun 1922, yaitu setelah Majelis Tinggi Islam Yerusalem di bawah pimpinan Amin Al-Husseini mempekerjakan Ahmet Kemalettin Bey, seorang arsitek berkebangsaan Turki, untuk merestorasi Masjid al-Aqsa dan monumen-monumen di sekitarnya. Dewan tersebut juga menugaskan arsitek-arsitek Inggris, ahli-ahli Mesir,
dan para pejabat lokal untuk ikut berpartisipasi dan mengawasi
perbaikan yang dilakukan pada tahun 1924–25 di bawah pengawasan
Kemalettin. Renovasi meliputi penguatan fondasi kuno masjid Umayyah,
perbaikan tiang-tiang kolom interior, penggantian balok-balok, pendirian
perancah, perawatan lengkungan
dan bagian dalam kubah, pendirian kembali dinding selatan, serta
penggantian tiang kayu di ruangan tengah dengan tiang beton. Renovasi
tersebut juga menampilkan kembali mosaik era Fatimiyah dan kaligrafi di
lengkungan-lengkungan interior yang sebelumnya tertutupi oleh lapisan
pelapis. Lengkungan-lengkungan dihiasi dengan gipsum berwarna hijau dan emas dan balok kayu landasannya digantikan dengan tembaga.
Seperempat dari jendela kaca patri juga diperbaharui dengan hati-hati
agar dapat melestarikan desain asli Abbasiyah dan Fatimiyahnya.[28]
Kerusakan hebat telah terjadi karena gempa bumi tahun 1927 dan 1937,
namun masjid itu diperbaiki kembali pada tahun 1938 dan 1942.[21]
Pada tanggal 21 Agustus 1969, terjadi kebakaran di dalam Masjid
Al-Aqsa, yang memusnahkan bangunan bagian tenggara masjid. Mimbar
Salahuddin adalah termasuk di antara barang-barang yang rusak terbakar.[26] Orang-orang Palestina awalnya menyalahkan otoritas Israel atas kebakaran tersebut, dan beberapa orang Israel menyalahkan Fatah
dan menganggap bahwa mereka yang menyulut sendiri apinya, agar dapat
menyalahkan Israel dan memancing permusuhan. Namun kemudian terbukti
bahwa kebakaran itu bukan disebabkan oleh Fatah maupun Israel, melainkan
oleh seorang turis Australia bernama Denis Michael Rohan. Rohan adalah
anggota dari sekte evangelis Kristen Worldwide Church of God.[29] Ia berharap bahwa dengan membakar Masjid Al-Aqsa, ia dapat mempercepat Kedatangan Kedua Yesus,
dengan cara mempermudah dibangunnya kembali Bait Suci Yahudi di Bukit
Bait Suci. Rohan dirawat di lembaga perawatan mental, didiagnosa
mengalami gangguan kejiwaan, dan akhirnya dideportasi.[30] Serangan terhadap Al-Aqsa disebut-sebut sebagai salah satu penyebab dibentuknya Organisasi Konferensi Islam pada tahun 1971, yang merupakan organisasi dari 57 negara yang banyak berpenduduk Islam.[31]
Pada tahun 1980-an, Ben Shoshan dan Yehuda Etzion, keduanya anggota kelompok bawah tanah Gush Emunim, merencanakan untuk meledakkan Masjid Al-Aqsa dan Kubah Batu.
Etzion berpendapat bahwa meledakkan dua bangunan tersebut akan
menyebabkan kebangkitan spiritual Israel, dan menyelesaikan semua
permasalahan orang Yahudi. Mereka juga berharap bahwa Bait Suci Ketiga
di Yerusalem dapat didirikan di atas lokasi tersebut. Rencana mereka
mengalami kegagalan karena lebih dahulu diketahui pihak kepolisian.[32][33] Pada tanggal 15 Januari 1988, yaitu saat berlangsungnya Intifadah Pertama, pasukan Israel menembakkan peluru karet dan gas air mata kepada para demonstran di luar masjid, mengakibatkan 40 orang jemaah luka-luka.[34][35]
Pada tanggal 8 Oktober 1990, dalam suatu kerusuhan 22 orang warga
Palestina terbunuh dan lebih dari 100 lainnya luka-luka karena tindakan
keras Polisi Perbatasan Israel. Kerusuhan dipicu oleh pengumuman dari Gerakan Setia Bait Suci, suatu kelompok Yahudi Ortodoks, yang menyatakan bahwa mereka akan meletakkan batu pertama untuk pembangunan Bait Suci Ketiga.[36][37]
Arsitektur
Bangunan Masjid Al-Aqsa berbentuk persegi, dan luasnya beserta area di sekitarnya adalah 144.000 m2, sehingga dapat menampung sampai dengan 400.000 jamaah.[38] Panjang bangunan masjid adalah 272 kaki (83 m), dan lebarnya 184 kaki (56 m), dan dapat menampung sampai 5.000 jamaah.[39][38]
Kubah
Berbeda dengan Kubah Batu yang mencerminkan arsitektur Byzantium klasik, kubah Masjid Al-Aqsa menunjukkan ciri arsitektur Islam awal.[40] Kubah yang asli dibangun oleh Abdul Malik bin Marwan, namun sekarang sudah tidak ada lagi sisanya. Bentuk kubah seperti yang ada saat ini awalnya dibangun oleh Ali Azh-Zhahir dan terbuat dari kayu yang disepuh dengan lapisan enamel timah.[17]
Pada tahun 1969, kubah dibangun kembali dengan menggunakan beton dan
dilapisi dengan aluminium yang dianodisasi sebagai ganti dari bentuk
aslinya yaitu lapisan enamel timah yang berusuk. Pada tahun 1983,
aluminium yang menutupi bagian luar diganti lagi dengan timah untuk
menyesuaikan dengan desain asli Azh-Zhahir.[41]
Kubah Al-Aqsa adalah salah satu dari sedikit masjid dengan kubah yang dibangun di depan mihrab selama periode Umayyah dan Abbasiyah, contoh lainnya adalah Masjid Umayyah di Damaskus (715) dan Masjid Besar Sousse (850).[42]
Interior kubah dicat menurut dekorasi era abad ke-14. Pada kabakaran
tahun 1969, cat dekoratif itu rusak dan sempat dianggap sudah tidak
dapat diperbaiki lagi. Namun dengan menggunakan teknik trateggio,
yaitu sebuah metode yang menggunakan garis-garis vertikal halus untuk
membedakan daerah yang direkonstruksi dengan daerah yang asli, akhirnya
dapat diperbaiki kembali dengan sempurna.[41]
Menara masjid
Masjid ini memiliki empat menara di sisi selatan, utara, dan barat.[39] Menara pertama, dikenal sebagai Al-Fakhariyyah, dibangun pada tahun 1278 di bagian barat daya masjid atas perintah sultan Mamluk, Lajin. Menara ini dibangun dalam gaya tradisional Suriah,
dengan landasan dan poros bangunan berbentuk persegi, serta dibagi
menjadi tiga lantai dengan cetakan hias. Pada bagian atasnya terdapat
dua deret muqarnas (ceruk hias) sebagai dekorasi untuk balkon muazzin. Ceruk hias ini dilingkupi oleh suatu bilik persegi, yang pada bagian atasnya terdapat kubah batu berlapis timah.[43]
Menara kedua, yang dikenal dengan nama Al-Ghawanimah, dibangun di sisi barat laut Al-Haram Asy-Syarif
(Bukit Bait Suci) pada tahun 1297–98 oleh arsitek Qadi Sharafuddin
Al-Khalili, atas perintah Sultan Lajin. Menara ini memiliki tinggi 37
meter.[43] dan hampir seluruhnya terbuat dari batu, selain dari kanopi kayu yang terletak di atas balkon muazzin.
Karena struktur bangunannya yang kokoh, menara Al-Ghawanimah hampir
tidak terpengaruh oleh berbagai gempa bumi yang terjadi. Menara ini
dibagi menjadi beberapa tingkat oleh cetakan batu dan galeri-galeri
dengan bentuk hiasan menyerupai stalaktit.
Dua tingkat pertama berukuran lebih luas dan menjadi landasan menara.
Keempat tingkat selanjutnya dilingkupi oleh ruangan berbentuk silinder
dan sebuah kubah bulat. Tangga untuk dua lantai pertama terletak di luar
bangunan, tetapi kemundian menjadi tangga dalam berbentuk spiral sejak
dari lantai tiga sampai mencapai balkon muazzin.[44]
Tankiz, gubernur Mamluk di Suriah, pada tahun 1329 memerintahkan
pembangunan menara ketiga yang dikenal sebagai Bab Al-Silsilah. Menara
ini terletak di sisi barat Masjid Al-Aqsa. Menara ini, yang mungkin
dibangun untuk menggantikan menara Umayyah sebelumnya, dibangun
berbentuk persegi menurut gaya tradisional Suriah dan seluruhnya terbuat
dari batu.[45] Berdasarkan tradisi lama Muslim setempat muazzin terbaik melakukan azan dari menara ini, karena seruan azan pertama untuk setiap awal salat lima waktu selalu dikumandangkan dari sini.[43]
Menara terakhir dan yang paling terkenal adalah Bab Al-Asbat. Menara
ini dibangun pada tahun 1367. Menara ini berupa poros batu silinder
(dibangun kemudian pada masa Utsmaniyah),
yang berdiri di atas landasan berbentuk persegi panjang dari masa
Mamluk, dan di terdapat formasi transisi yang berbentuk segitiga.[46] Poros bangunan menyempit pada bagian balkon muazzin, dilengkapi beberapa jendela melingkar,[43] serta pada bagian atasnya terdapat kubah berbentuk bulat. Kubah ini dibangun kembali setelah terjadinya gempa bumi Lembah Yordan 1927.[46]
Di bagian timur masjid tidak terdapat menara karena dalam sejarah
dahulu sangat sedikit penduduk di sisi tersebut, sehingga tidak
diperlukan menara tambahan untuk menyerukan azan.[39] Namun, Raja Abdullah II dari Yordania
pada tahun 2006 mengumumkan keinginannya untuk membangun menara kelima
yang menghadap ke Bukit Zaitun. Menara Raja Hussein ini nantinya
direncanakan menjadi struktur bangunan tertinggi di Kota Tua Yerusalem.[47][48][49]
Fasad dan serambi
Bagian depan (fasad) masjid ini dibangun pada 1065 Masehi atas perintah khalifah Fatimiyah Al-Mustanshir.
Di bagian muka terdapat bangunan pagar langkan (balustrade) berupa
lorong-lorong beratap (arkade) dengan tiang-tiang kolom kecil. Tentara Salib merusak fasad ini ketika mereka memerintah Palestina, namun Ayyubiyah memperbaiki dan membangunnya kembali. Fasad juga mengalami penambahan berupa penempelan ubin pada dindingnya.[21]
Bahan bekas pakai yang digunakan untuk membangun lengkungan fasad
antara lain termasuk bahan hias pahatan yang diambil dari
bangunan-bangunan Tentara Salib di Yerusalem.[50] Terdapat empat belas lengkungan batu di sepanjang fasad,[1]
sebagian besar bergaya Romantik. Mamluk menambahkan
lengkungan-lengkungan terluar, yang dibangun dengan mengikuti desain
yang sama. Pintu masuk ke masjid adalah dengan melalui lengkungan tengah
pada fasad tersebut.[51]
Sebuah bangunan serambi (bilik) terletak di bagian atas fasad ini. Bagian tengah serambi dibangun oleh Ksatria Templar pada masa Perang Salib Pertama, namun Al-Muazzam kemenakan Shalahuddin adalah yang memerintahkan dibangunnya bangunan serambi itu sendiri pada tahun 1217.[21]
Interior
Masjid Al-Aqsa memiliki tujuh buah lorong dengan ruang yang ditunjang oleh tiang-tiang melengkung (hypostyle nave), serta beberapa ruang kecil tambahan di sisi sebelah barat dan timur pada bangunan masjid bagian selatan.[22] Terdapat pula 121 jendela kaca patri dari era Abbasiyah dan Fatimiyah, dimana seperempatnya telah selesai direstorasi pada tahun 1924.[28]
Ruangan dalam masjid memiliki 45 tiang kolom, 33 diantaranya terbuat dari marmer putih dan 12 lainnya dari batu.[38]
Barisan tiang kolom pada lorong-lorong tengah berbentuk kokoh dan
kerdil, dengan ukuran lingkar 30,6 cm dan tinggi 54 cm, akan tetapi
empat barisan tiang kolom lainnya memiliki ukuran yang lebih lebih
proporsional. Terdapat empat jenis desain yang berbeda untuk bagian
kepala tiang kolom. Kepala tiang di lorong tengah berbentuk kokoh dan
berdesain primitif, sedangkan kepala tiang yang di bawah kubah berdesain
gaya Korintus[38] dan terbuat dari marmer putih Italia.
Kepala tiang di lorong timur memiliki desain berbentuk keranjang yang
besar, sementara kepala tiang di sebelah timur dan barat kubah juga
berbentuk keranjang tetapi berukuran lebih kecil dan lebih proporsional.
Terdapat palang penghubung antara tiang kolom dan tembok penyangga yang
satu dengan yang lainnya, yang terbuat dari balok kayu yang dipotong
sederhana dan berlapis selubung kayu dengan ukiran seadanya.[38]
Banyak bagian masjid yang hanya dilabur kapur putih, tetapi bagian
dalam kubah dan dinding-dinding yang tepat di bawahnya penuh dengan
dekorasi mozaik
dan marmer. Beberapa karya lukisan yang tidak begitu baik dari seorang
seniman Italia pernah diletakkan di sana ketika perbaikan sedang
dilakukan pada masjid, setelah gempa bumi tahun 1927.[38] Bagian langit-langit masjid juga dicat dengan pendanaan dari Raja Farouk dari Mesir.[51]
Mimbar masjid dibuat oleh seorang pengrajin bernama Akhtarini yang berasal dari Aleppo atas perintah Sultan Nuruddin Zengi.
Mimbar tersebut dimaksudkan sebagai hadiah untuk masjid ketika Nuruddin
membebaskan Yerusalem, dan pengerjaannya memakan waktu selama enam
tahun (1168-1174). Ternyata Nuruddin meninggal ketika Tentara Salib
masih memegang kendali atas Yerusalem, namun ketika Shalahuddin
berhasil merebut kota itu pada tahun 1187, mimbar tersebut lalu
dipasang. Struktur mimbar terbuat dari gading dan kayu yang dipahat secara hati-hati. Kaligrafi Arab dan desain-desain berbentuk geometris dan bunga terukir pada bagian-bagian kayu mimbar tersebut.[52]
Setelah hancur karena perbuatan Rohan pada tahun 1969, mimbar itu
digantikan oleh mimbar lain yang dekorasinya jauh lebih sederhana. Adnan
Al-Hussaini, kepala lembaga wakaf Islam yang bertanggung jawab atas
Al-Aqsa, pada bulan Januari 2007 menyatakan bahwa akan dibuat sebuah
mimbar baru,[8] dan pada bulan Februari 2007 mimbar baru tersebut telah selesai dipasang.[53]
Desain mimbar baru ini dibuat oleh Jamil Badran berdasarkan replika
yang seksama dari mimbar Shalahuddin, dan pengerjaannya diselesaikan
oleh Badran dalam waktu lima tahun.[52] Mimbar itu dikerjakan di Yordania
selama empat tahun, dan para pengrajin menggunakan "metode kuno dalam
pengukiran kayu, menggabungkan potongan-potongan dengan pasak dan bukan
paku, namun menggunakan pencitraan komputer untuk desain mimbarnya."[8]
Air mancur tempat wudhu
Air mancur tempat wudhu utama, yang bernama al-Kas ("mangkuk"), terletak di bagian utara yaitu antara masjid dan Kubah Batu.[43]
Para jamaah menggunakannya untuk wudhu, yaitu ritual pencucian wajah,
lengan, rambut, telinga, dan kaki yang dilakukan umat Islam sebelum
beribadah, termasuk di masjid. Bangunan ini pertama kali dibangun pada
tahun 709 pada masa pemerintahan Umayyah, tetapi antara tahun 1327-1328
Gubernur Tankiz memperbesarnya untuk dapat melayani lebih banyak jamaah.
Meskipun pada awalnya air berasal dari Kolam Salomo yang ada di dekat Betlehem, saat ini air berasal dari pipa yang terhubung ke sumber air kota Yerusalem.[54] Renovasi al-Kas pada abad ke-20 telah menambahkannya dengan keran air dan tempat duduk batu.[55]
Air Mancur Qasim Pasha dibangun pada masa pemerintahan Utsmaniyah
tahun 1526 dan terletak di sebelah utara masjid, yaitu pada serambi
Kubah Batu. Air mancur ini sebelumnya juga pernah digunakan oleh para
jamaah untuk wudhu dan minum sampai dengan tahun 1940-an, namun saat ini
hanya berfungsi sebagai monumen saja.[43]http://id.wikipedia.org/wiki/Masjid_Al-Aqsa
Tidak ada komentar:
Posting Komentar